Inspirasi

Apakah Wanita Benar-Benar Bebas? Begini Realita Toxic Femininity

Apakah Wanita Benar-Benar Bebas? Begini Realita Toxic Femininity
Foto: Freepik

Moms cantik, istilah toxic femininity memang nggak sepopuler toxic masculinity, tapi punya dampak yang signifikan bagi kehidupan wanita sehari-hari.  

Pastinya, kita udah sama-sama tau ya, bahwa ekspektasi dan norma sering kali membatasi kebebasan individu untuk mengekspresikan diri dan menjadi dirinya sendiri.

Sama seperti toxic masculinity, toxic femininity menggambarkan ekspektasi berbasis gender standar masyarakat terhadap perempuan, sehingga dapat berdampak negatif pada perempuan. 

Apa itu toxic femininity?

Awalnya istilah ini belum jelas siapa yang pertama kali mencetuskannya. Namun, istilah ini pertama kali masuk dalam leksikon publik sekitar tahun 2018. Berbagai pendapat mengenai pemaknaan istilah ini berbeda tergantung pada sumbernya. 

Berdasarkan pendapat yang dikutip dari verywellmind.com,  definisi toxic femininity sebagai kepatuhan terhadap gender untuk menerima nilai-dan norma bersyarat pada masyarakat patriarki.

Singkatnya, toxic femininity merupakan aksi penerimaan diam-diam pada perilaku yang dianggap sebagai "perempuan sejati," seperti lembut, penurut, dan mengalah. Hal ini menjadi merugikan, karena perempuan ditekan dan nggak bebas untuk mengekspresikan diri secara autentik.

Ritch C. Savin Williams dalam tulisannya pada Psychology Today, mengatakan bahwa toksik femininitas merupakan misogini yang terinternalisasi, yang mendorong wanita untuk abai pada kebutuhan mental dan fisik guna mendukung orang sekitarnya. 

Toxic Femininity vs toxic masculinity

Toksik maskulinitas menyatakan bahwa pria harus tangguh, nggak menunjukkan emosi, dan menolak apa pun yang bersikap feminim. Sementara, toksik femininitas menekan wanita untuk menjadi pendiam, mengasuh, tunduk, dan menarik. 

Dalam hal ini keduannya merupakan dua sisi mata uang yang sama, yakni pria memegang peran yang agresif, dominan, kasar dan mengintimidasi agar tetap berkuasa, sementara wanita harus berusaha menyenangkan yang berkuasa agar terhindar dari hukuman dan rasa sakit. 

Kepatuhan wanita kepada pria inilah yang menimbulkan konstruksi sosial, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pria dapat diterima oleh sikap tunduk wanita. 

Gagasan dan pola pikir yang terbentuk dari produk masyarakat patriarki ini terbentuk sebagai aturan khusus budaya, dengan berbagai komponen inti berikut. 

  1. Patuh, wanita harus menerima kendali dan hidup untuk melayani.
  2. Hiperfeminitas, kepatuhan terhadap stereotip feminin yang menonjolkan kepatuhan, keanggunan, dan kelembutan secara berlebihan.  
  3. Pengawasan terhadap kewanitaan orang lain, merupakan tekanan pada orang lain agar meniru perilaku yang dianggap feminin, seperti memberikan komentar negatif pada seseorang yang memilih untuk childfree.
  4. Sabotase orang lain melalui penyalahgunaan kualitas feminin, merupakan tindakan untuk membenci dan merugikan wanita lain, karena gagasan wanita bersaing untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan pria. 

Asumsi dan contoh toxic femininity

Asumsi dan stereotip menjadi cikal bakal lahirnya toxic femininity. Contoh sederhana dari adanya femininitas beracun ini adalah, anggapan perlunya perempuan  tampil cantik dan rapi untuk mendapatkan perhatian laki-laki atau pengakuan sosial. 

Perempuan harus selalu mengalah dan mengutamakan kebutuhan orang lain. Misalnya, wanita akan merasa bersalah jika memilih untuk mengejar karir dibandingkan menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. 

Oiya moms, mendukung perempuan untuk bertahan dalam situasi nggak sehat juga merupakan toxic femininity lho! Dalam situasi ini, perempuan akan memiliki peluang besar untuk terjebak pada kondisi nggak berdaya.

Dampak toxic femininity 

Dampak yang ditimbulkan dari toxic femininity sangat kompleks dan dapat dirasakan secara individu dalam konteks sosial yang lebih besar.

  • Normalisasi kekerasan sosial pada perempuan

Bahaya yang ditimbulkan dari gagasan toxic femininity adalah anggapan bahwa kekerasan dan penindasan perempuan merupakan suatu yang lumrah. 

  • Dampak negatif pada kesehatan mental

Femininitas di tempat kerja akan berdampak negatif pada kesehatan mental, karena toxic femininity mendorong gagasan dalam menghalangi perempuan untuk naik ke jenjang karir yang lebih tinggi, dan nggak ingin menempatkan perempuan pada posisi kepemimpinan. 

  • Pengaruh pada kesetaraan dan keadilan gender

Peran perempuan yang terbatas pada posisi tertentu akan menghambat kemajuan pada kesetaraan dan keadilan gender. 

Cara menyikapi toxic femininity

Toxic femininity telah mengurung perempuan pada definisi yang kaku dan nggak menguntungkan. Berikut merupakan hal-hal yang dapat dilakukan untuk menyikapi dan mengurangi dampak toxic femininity

  • Mulai dari diri sendiri

Setiap individu memiliki kebebasan berekspresi tanpa harus memenuhi norma dan ekspektasi yang merugikan.

  • Berani mengatakan tidak

Hal ini menjadi langkah penting untuk melawan standar yang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi.

  • Edukasi gender 

Edukasi akan meningkatkan kapasitas seseorang berbasis gender. Dengan memahami dan mempelajari asal-usul dan dampaknya, kita akan dapat berkontribusi mendorong perempuan untuk hidup lebih baik lagi. 

Jadi, bisa disimpulkan bahwa konsep  perempuan harus selalu berada di bawah ekspektasi sosial untuk terus bersikap lembut, bisa merugikan.

Sering kali hal ini justru berdampak negatif terhadap keadilan dan kesetaraan gender, sehingga diperlukan kesadaran untuk menolak ekspektasi tidak adil yang faktnya sangat merugikan kaum perempuan. Hal serupa juga berlaku pada kaum laki-laki, lho.

 

Sumber:

  • https://www.verywellmind.com/
  • https://www.healthline.com/
  • https://greatergood.berkeley.edu/

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.